Romantisasi pulang dengan satu nama kota di Indonesia ini, adalah sesatu yang gue juga nggak yakin sejak kapan dimulai. Tapi bagi sesiapapun yang pernah merasakan tinggal di sana, konon katanya punya perasaan yang sama tentang kota ini.
Yogyakarta. Namanya di sebut-sebut dalam berbagai kutipan pendek, hingga lagu yang sempat populer sekitar tahun 2020-an. Jadi berasa lama ya, padahal 2020 baru 2 Tah... eh? 5 Tahun lalu?
Sampai 2 tahun lalu, gue masih menyimpan dendam tentang menyusuri sudut jogja jika kembali ke sana. Sampai tahun 2020 gue masih menyimpan Jogja sebagai tempat pulang yang suatu saat gue harus kembali ke sana. Sekarang? Jogja nggak menempati posisi yang sespesial itu di hati gue.
Barangkali, ini rasanya mendewasa. Bukan berarti gue udah tau juga kehidupan dewasa itu gimana. Tapi benturan dengan realita yang dihadapi tiap hari, bikin gue merasa harus lebih fokus sama apa yang ada di depan mata. Berkutat dengan hal-hal yang harus dipenuhi dan hal-hal lainnya.
Semakin umur bertambah, seiring dengan tanggung jawab yang semakin besar untuk diemban, prioritas kita akan berubah perlahan. Tidak ada lagi yang lebih penting daripada apa yang hari ini masa depannya harus gue perjuangkan. Keluarga kecil ini. Apa lagi?
Yep. Siapa tau ada pembaca lama blog ini. Saat ini gue udah berkeluarga dan sudah dianugerahi satu malaikat kecil yang sedang gemas-gemasnya. Gemas karena bisa bikin emosi naik-turun seketika. Buat yang sudah punya anak, barangkali punya pengalaman yang sama. Next time mungkin akan gue tuangkan sebagai cerita di blog ini juga. Harus, sih. Siapa tau suatu saat dia nemuin blog ini.
Dengar lagu lama ini katanya;
"Ijinkan aku pulang ke kotamu."
'ku percaya, selalu ada sesuatu di Jogja...
Penggalan lagu ini mulai terasa tidak lagi relevan. Karena buat gue, nggak ada lagi pulang di Jogja.



